Kang Ndimin Sirrullah
Ada-ada saja, kalau Allah menyembunyikan kekasihnya. Kang Ndimin, seorang khadam Kiai di Gedongsari, Nganjuk, sudah beberapa puluh tahun silam wafat. Dan beberapa saat lalu, ketika terbongkar, mayatnya masih utuh.
Selama hidupnya Kang Ndimin hanya penjual warkop di depan pesantren itu. Banyak santri yang ngutang, banyak pula santri menjuluki dengan panggilan hina, Kang nDimin. tetapi Zuhudnya Kang nDimin tak tertandingi. Selama hidupnya hanya tersenyum lega dengan kenyataan yang diterima. Bahkan ia rela dijadikan pisuhan para santri. Namanya pun tidak pernah tercatat sebagai seorang Sufi, tetapi di Langit sana, Allah mempopulerkan nama besarnya. Ia telah menjadi Sirrullah.
Apa rahasia sukses ruhani Kang Ndimin? Tidak jelas dan sangat rahasia. Setidak-tidaknya, selama hidup Kang Ndimin tidak pernah mencaci orang, apalagi mencari aib orang lain, walaupun orang itu berkali-kali menyakitinya. Kang Ndimin hanya tersenyum jika dimaki dan dihina. Senyum khas lelaki tua dari desa. Tidak pernah ngresulo, keluh kesah pada takdir Allah. Setiap hari ia hanya melayani para santri yang membeli nasi dan kopinya. Bahkan tak seorang pun tahu jika hatinya telah menyatu dengan Allah, degan tekad menjadi Abdullah.
Seluruh alumni pesantren itu terkesiap ketika mayat Kang Ndimin sekian puluh tahun yang lalu masih utuh.
Ada-ada saja, kalau Allah menyembunyikan kekasihnya. Kang Ndimin, seorang khadam Kiai di Gedongsari, Nganjuk, sudah beberapa puluh tahun silam wafat. Dan beberapa saat lalu, ketika terbongkar, mayatnya masih utuh.
Selama hidupnya Kang Ndimin hanya penjual warkop di depan pesantren itu. Banyak santri yang ngutang, banyak pula santri menjuluki dengan panggilan hina, Kang nDimin. tetapi Zuhudnya Kang nDimin tak tertandingi. Selama hidupnya hanya tersenyum lega dengan kenyataan yang diterima. Bahkan ia rela dijadikan pisuhan para santri. Namanya pun tidak pernah tercatat sebagai seorang Sufi, tetapi di Langit sana, Allah mempopulerkan nama besarnya. Ia telah menjadi Sirrullah.
Apa rahasia sukses ruhani Kang Ndimin? Tidak jelas dan sangat rahasia. Setidak-tidaknya, selama hidup Kang Ndimin tidak pernah mencaci orang, apalagi mencari aib orang lain, walaupun orang itu berkali-kali menyakitinya. Kang Ndimin hanya tersenyum jika dimaki dan dihina. Senyum khas lelaki tua dari desa. Tidak pernah ngresulo, keluh kesah pada takdir Allah. Setiap hari ia hanya melayani para santri yang membeli nasi dan kopinya. Bahkan tak seorang pun tahu jika hatinya telah menyatu dengan Allah, degan tekad menjadi Abdullah.
Seluruh alumni pesantren itu terkesiap ketika mayat Kang Ndimin sekian puluh tahun yang lalu masih utuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar