Rabu, 30 Juni 2010

Bahtsul Masail 25 (Hukum Mencuri Harta Orang Kafir )

Hukum Mencuri Harta Orang Kafir

Dulu ketika saya nyantri di Jember, kebetulan ada Buya tugasan dari Sidogiri. Saya bertanya begini, bagaimana hukumnya mengambil barang atau harta milik orang non-muslim, baik berupa makanan atau lainnya. Beliau menjawab boleh, tetapi mengambilnya itu yang dosa. Setelah saya nyantri di Sidogiri, saya bertanya lagi pada salah satu guru, dan ternyata jawabannya lain. Beliau menjawab boleh dan tidak berdosa, bahkan dimakan pun halal. Menurut beliau, kalau dimakan halal, mengambil pun hukumnya halal. Beliau mengatakan, bahwa keterangannya ada di kitab Qurrat al-'Ain. Nah, yang ingin saya tanyakan di sini, bagaimana sebenarnya hukum mengambil atau mencuri harta orang kafir itu ?

Jawaban :
Seperti kita ketahui, Allah SWT telah menyuruh Nabi-Nya untuk memerangi umat manusia sampai mereka mengucapkan kalimat "la ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah)". Dalam sebuah hadits ada teks begini, "Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan "la ilaha illa Allah". Apabila mereka mengucapkannya, mereka berarti telah menjaga darah dan hartanya". Dengan demikian, berarti Islam atau kalimat Laa Ilaha Illa Allah menjadi sarat bagi terjaminnya darah dan harta seseorang.

Nah, sekarang karena orang kafir itu darah dan hartanya dianggap tidak terjamin, maka bagaimana hukum mencurinya? Dalam masalah ini, ulama kita sepakat untuk tafshil; kalau yang dicuri itu hartanya kafir dzimmi , maka hukumnya haram. Sedangkan kalau yang dicuri itu hartanya kafir harbi (tidak terikat jaminan perlindungan dari orang muslim), sebenarnya ulama kita mazhab Syafi'iy berselisih pendapat.

Menurut al-Ghazali dan Imam al-Haramain, harta yang diambil dengan cara mencuri dari orang kafir harbi termasuk harta fay' yang menjadi milik pengambilnya secara langsung tanpa harus ditakhmis (dibagi lima). Sedangkan menurut pendapat al-ashah, sesuai dengan pendapat mayoritas ulama (jumhur), harta hasil curian dari kafir harbi termasuk ghanimah (jarahan) yang harus ditakhmis. Demikian ini seperti ditulis oleh al-Rafi'i dalam al-'Aziz fi Syarh al-Wajiz (XI/425) dan al-Nawawi dalam Raudlah al-Thalibin (VII/457).

Nah apakah mencurinya berdosa? Dalam kitab Qurrah al-'Ain kami tidak menemukan keterangan mengenai masalah ini. Tetapi, dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin (156), ada teks, "hukum harta orang muslim, dzimmi dan musta'man sama keharamannya dalam mengambilnya dengan cara yang tidak benar. Berbeda dengan harbi". Dari sini jelas sekali, bahwa mencuri harta kafir harbi tidak haram. Wallahu a'lam bishshawab.

Dasar Pengambilan:
Al-'Aziz fi Syarh al-Wajiz (XI/425), Raudlah al-Thalibin (VII/457), Qurrah al-'Ain (200), Bughyah al-Mustarsyidin (156).

Bahtsul Masail 24 (Hukum Membaca Salam Ketika Shalat)

Membaca Salam Ketika Shalat

Pertanyaan:

Bagaimana hukum membaca salam di waktu shalat, seperti mengucapkan 'alaihissalam ketika mendengar bacaan imam menyebutkan nama-nama Nabi terdahulu. Apakah dapat membatalkan shalat?

Jawaban:
Bacaan salam atau shalawat kepada Nabi di dalam shalat sewaktu mendengar bacaan imam yang menyebutkan nama Nabi itu tidak membatal­kan shalat, apabila salamnya berbentuk dlamir ghaib, seperti 'alaihissalam. Apabila berbentuk dlamir mukhatab seperti 'alaikassalam atau Allahumma shalli 'ala Muhammad, maka dapat membatalkan shalat tanpa ada khilaf di kalangan ulama.

Referensi:
*Muhammad al-Zuhri al-Ghamrawi dalam, Anwar al-Masalik, hal. 56,
*Ba Shabrin dalam Itsmid al-'Ainain, hal. 18.

Selasa, 29 Juni 2010

Bahtsul Masail 23 (Hukum Memanfaatkan Kayu dari Tanah Kuburan)

Hukum Memanfaatkan Kayu dari Tanah Kuburan


Sering kita jumpai di atas kuburan umum ada pohon-pohonan kemudian masyarakat setempat mempunyai kesepakatan untuk digunakan madrasah atau mushalla.

Pertanyaan:
a. Bagaimana hukumnya menanam pohon di atas kuburan tersebut?
b. Bolehkah pepohonan tersebut dipergunakan untuk madrasah atau mushalla?

Jawaban:
a. Menanam pohon di atas kuburan umum adalah haram hukumnya apabila tidak ada ijin hakim atau waqif ketika mewaqafkan (fi shulb al-'aqd) atau adat yang berlaku di daerah tersebut.
b. Apabila pohon tersebut tumbuh dan tumbang dengan sendirinya maka Imam atau wakilnya (pemerintah setempat) diperbolehkan mem­­­­per­gunakan kayu tersebut untuk kepentingan madrasah atau mushalla, apabila tidak ada nadhir khas.

Kalau pohon tersebut ditanam oleh seseorang maka yang menanam atau yang mendapat ijin boleh memanfaatkannya untuk hal tersebut.

Referensi:
• Bughyat al-Mustarsyidin, I74
• Masyariq al-Anwar, 37
• Hasyiyat Sulaiman al-Jamal, III/207
• Talkhish al-Murad bi-Hamisy al-Bughyah, 181
• Hamisy I'anat al-Thalibin, III/184
• Qalaid al-Khazaid, I/198

Bahtsul Masail 22 (Hukum Memakai Minyak Wangi Beralkohol)

Hukum Memakai Minyak Wangi Beralkohol

Tanya:

Apakah hukum memakai minyak wangi yang beralkohol atau mempunyai 'spirit'?

Jawab:

Kita mengetahui bahwa alkohol yang dicampur ke dalam bau-bauan (minyak wangi) ialah diambil daripada proses tindakan kimia bijian dan kayuan. Daripada bijian tersebut disebut "alkohol Ethyl" dan daripada kayu disebut "Methyl". Semua alkohol termasuk dalam kumpulan karbon (C-OH).

Alkohol Ethyl dibuat daripada bijian dan cairannya yang telah diragi serta disimpan lama dan dijadikan bir dan wine atau disebut arak. Selain daripada itu Ethyl digunakan juga sebagai bahan campuran dalam minyak yang digunakan untuk lampu-lampu makmal dan lampu-lampu traktor dan sebagainya. Ini dilakukan untuk mengurangkan pencemaran udara.

Alkohol Ethyl juga digunakan sebagai alat pemandu obat (preservative/obat tahan) obat antiseptik untuk melawan kuman, obat gosok atau minyak angin untuk urat saraf atau keseleo. Alkohol jenis ini juga digunakan untuk dimasukkan ke dalam minyak wangi, maka jika digunakan untuk dimasukkan ke dalam minyak wangi untuk menyerbak keharumannya.

Seperti yang kita fahami bahwa alkohol jenis Ethyl ialah najis dan sekiranya kita menggunakan bahan-bahan yang dicampur dengannya seperti minyak wangi, maka jika dibawa dalam sholat tidak sahlah sholat kita.

Wallahu a'lam.

Senin, 28 Juni 2010

Bahtsul Masail 21 (Khiyar, Tidak Hanya Tiga Hari)

Khiyar, Tidak Hanya Tiga Hari

Di era sekarang, perdagangan antar negara yang berjauhan letaknya sudah menjadi hal yang biasa. Kemudahan transportasi telah membuat jarak tidak lagi menjadi masalah. Hal ini juga berimbas kepada hukum-hukum sekitar jual beli. Khiyar misalnya. Jika kita melakukan perdagangan antar pulau atau meng­impor barang dari luar negeri maka tidak mungkin bila hanya diberi tempo khiyar selama tiga hari.

Pertanyaan:
Bagaimanakah sebenarnya pandangan ulama fiqh tentang khiyar, jika khiyar itu tidak mungkin hanya diberi tempo selama tiga hari, karena jauh jaraknya atau karena sebab lainnya?

Jawaban:
Menurut Syafi'iyah tempo khiyar itu hanya selama tiga hari terhitung mulai adanya perjanjian khiyar. Jika ada syarat khiyar lebih dari tiga hari maka akadnya tidak sah. Demikian pula pendapat madzhab Hanafi.

Namun madzhab Maliki menyatakan bahwa khiyar itu tidak hanya terbatas tiga hari, tapi tergantung kebutuhan. Seperti halnya jika barang yang dijualbelikan adalah buah-buahan yang tidak tahan dari satu hari maka masa khiyar tidak boleh lebih dari satu hari. Sebaliknya, barang yang membutuhkan waktu lebih lama, maka masa khiyarnya juga bisa lebih dari tiga hari. Demikian juga jika tempatnya tidak bisa capai dalam waktu tiga hari, maka khiyar bisa lebih dari tiga hari sesuai dengan kebutuhan.

Dasar pengambilan:
• Hasyiyat al-Syarqawi, Juz II
• Tarsyih al-Mustafidin, 224