Senin, 31 Mei 2010

Dialog Ahli Syari’at dan Ahli Hakikat

Dialog Ahli Syari’at dan Ahli Hakikat


Perdebatan antara ulama fikih/syari’at dan ulama hakikat sepertinya tak pernah berujung. Sejak dulu hingga kini, persoalan itu masih terus bergulir, meski banyak buku-buku tentang sufisme yang menjelaskan hubungan antara keduanya. Termasuk karya termasyhur Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin. Biasanya, ulama fikih atau syari’at selalu menuduh bahwa ahli tasawuf banyak menyimpangkan ajaran Islam.
Tapi dalam dialog di sebuah majelis sufi, seorang ulama fikih kali ini seperti dibuat tak berdaya. Bahkan ulama tersebut justru membenarkan pendapat yang dikemukakan ahli hakikat.
“Menurut Anda,” tanya ahli hakikat mengawali dialog, “jika Anda memiliki 40 ekor kambing, lalu berapa ekor kambing yang wajib dikeluarkan zakatnya?.”
“Berdasarkan ketentuan fikih, satu ekor.” Sang Sufi pun manggut-manggut.
“Sebaliknya, berapa menurut Anda?”
“Secara hakikat, ya semuanya,” jawab sang Sufi spontan.
“ Lho, kok, bisa begitu? Buat apa kita memelihara kambing kalau harus diberikan semuanya pada mustahiq, bukankah kambing itu sebagiannya sudah menjadi milik kita?”
“Anda benar. Tapi Anda juga harus tahu bahwa kambing-kambing yang kita pelihara itu bukan milik kita, tapi milik Allah. Itu secara hakikat. Kita hanya diberi amanah oleh Allah, karena punya Allah, maka kita tidak berhak mengklaim bahwa kambing-kambing itu milik kita.”

Ahli fikih hanya bisa diam. Ia lalu mencoba menggali makna terdalam dari ucapan ahli hakikat tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar