Rabu, 12 Mei 2010

ILMU MUNASABAH AL-QUR’AN

ILMU MUNASABAH AL-QUR’AN

A. Pengertian Ilmu Munasabah

Secara etimologis, al-munasabah berarti al musyakalah dan al muqarabah yang berarti “saling menyerupai” dan “saling mendekati”. Secara termilogis, al munasabah berarti adanya keserupaan dan kedekatan diantara berbagai ayat, surat dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan. Hubungan tersebut bisa berbentuk keterkaitan makna ayat-ayat dan macam-macam hubungan atau keniscayaan adalam pikiran, seperti hubungan sebab dan musabbab, hubungan kesetaraan dan hubungan perlawanan, munasabah juga dapat dalam bentuk penguatan, penafsiran dan penggantian.

B. Eksistensi Munasabah

Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al Qur’an adalah tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Mengenai tertib sura-surat Al-Qur’an pada ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tertib surat-surat Al-Qur’an sebagaimana yang dijumpai dalam mushhaf yang sekarang adalah tauqifi. Pendapat ini didasarkan atas keadaan Nabi SAW, yang setiap tahunya melakukan mu’aradhah (mendengarkan bacaanya) kepada Jibril AS. Termasuk yang diperdengarkan Rasul itu tertib surat-suratnya. Pada mu’aradhah terakhir, Zaid ibn Tsabit hadir saat Nabi membacakan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan teritib surat yang sama kepaa kita sekarang.

Sebagaimana ulama memandang tertib ayat-ayat Al-Qur’an masuk dalam ijtihad. Pendapat ini didasarkan atas beberapa alas an. Pertama,mushhat pada catatan para sahabat tidak sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda dengan pendapat tertib surat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ketiga, adanya perbedaan pendapat dalam masalah tertib surat Al-Qur’an ini ditunjukan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib dimaksud. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa seagianya tauqifi dan lainya ijtihad. Pendapat inijuga mengajukan beberapa alasan. Menurut pendapat ini, tidak semua nama surat Al-Qur’an diberikan oleh Allah, tetapi sebagian diberikan oleh Nabi SAW, dan lainya diberikan oleh para sahabat. Usman pernah ditanya mengapa surat Al Barasah tidak dimulai dengan basmalah. Ia menjawab bahwa ia melihat isinya yang sama dengan surat sebelumnya, surat al-Anfal. Nabi tidak sempat menjelaskan tempat surat tersebut sampai wafatnya. Karena itu, saya kata usman meletakkanya setelah surat al-Anfal.

Meski ketiga pendapat di atas memiliki alasan, tetapi alasan-alasan yang dikemukakan itu tidak semuanya memiliki tingkat keabsahan yang sama. Alasan pendapat yang mengatakan tertib surat sebagai ijtihad tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda dngan tertib mushhaf yang sekarang dan adanya catatan mushhaf sahabat yang berbeda bukalah riwayat mutawatir. Tertib mushhaf sekarang berdasarkan khabar mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushhaf itu hadir bersama Nabi setiap saat turun ayat Al-Qur’an. Karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tertib mushhaf sahabat sangat besar. Demikian juga alasan pendapat yang mengatakan sebagai surat tauqifi dan sebagian lainya ijtihadi tidak kuat. Keterangan bahwa Nabi tidak sempat menjelaskan letak surat al-Barasah sehingga Usman tidak menempatkannya sebelum surat al-Anfal adalah riwayat yang lemah, baik dari segi sanad maupun matan, sebab perriwayat, Yazid pada sanadnya dinilai majbul oleh al-Bukhari dan Ibn Katsir. Dari segi matan juga riwayat ini lemah karena nabi wafat tiga tahun setengah setelah turunya surat al-Baraah. Tentunya dalam waktu demikian panjang sulit dibayangkan Nabi tidak sempat menjelaskan letak sebuah surat, sedang Nabi setiap tahun membacakan Al-Qur’an kepada Jibril. Sementara itu, riwayat tentang mu’aradhah nabi akan bacaannya kepada Jibril setiap tahun adalah riwayat sahih. Karena itu, pendapat mayoritas lebih kuat dari pada kedua pendapat lainya.

Terlepas dari kontroversi pendapat tentang keberadaan munasabah, ilmu ini termasuk yang kurang mendapat perhatian dari para mufasir. Buku-buku ulumul Qur’an, terutama buku-buku dalam bahasa Indonesia jarang memuat bahasan ini, sebab ilmu munasabah sebagaimana ditegaskan oleh al-Suyuthi termasuk ilmu yang rumit.


C. Urgensi Munasabah

Pengetahuan tentang munasabah Al-Qur’an terutama bagi seorang mufasir sangat urgen. Diantara urgensinya adalah sebagai berikut:

1. Menemukan makna yang tesirat dalam susunan dari urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surat-surat Al-Qur’an sehingga bagian-bagian dari Al-Qur’an saling berhubungan dan tampak menajadi satu rangkaian yang utuh dan integral.

2. Mempermudah pemahaman Al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat al-Fatihah yang artinya, ‘tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus’ disambung dengan ayat ketujuh yang artinya ‘yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugrahi nikmat atas mereka. “Antara keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalan yang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah mendapatkan nikmat dari Allah SWT.

3. Memperkuat atas keyakinan dan kebenaranya sebagai wahyu dari Allah. Meskipun Al-Qur’an yang terdiri dari atas 6236 ayat dam ditulis runkan, ditempat, keadaan, dan kasus yang berbeda dalam rentang waktu dua puluh tahun lebih, namun dalam susunanya terdapat makna yang dalam berupa hubungan yang kuat antar satu bagian dengan bagian lainya.

4. Menolak tuduhan bahwa susunan Al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya muncul karena penempatan surat al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surat inilah yang pertama dibaca. Padahal, dalam sejarah, lima ayat pertama surat al Alaq sebagai ayat-ayat pertama turun kepada Nabi SAW. Akan tetapi Nabi menetapkan letak al Fatihah diawal mushhaf yang kemudian disusul dengan surat al Baqarah. Setelah didalami, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surat al Fatihah mengandung unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat ini termuat doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali dengan petunjuk al kitab sebagai pedoman menuju jalan yang lurus. Dengan demikian, surat al Fatihah merupakan titik bahasan yang akan diperinci pada surat surat berikutnya, al Baqarah. Dengan menemukan munasabah tesebut, ternyata susunan ayat-ayat dan surat-surat al qur’an tidak kacau melainkan mengandung makna yang dalam.

D. Langkah-langkah untuk menemukan munasabah

Adapun langkah-langkah yang ditempuh untuk menemukan munasabah antara lain adalah sebagai berikut

1. Melihat tema sentral dari surat tertentu

2. Melihat premis-premis yang diperlukan untuk mendukung tema sentral

3. Mengadakan kategoristik terhadap premis-premis berdasarkan jauh dan dekatnya kepada tujuan

4. Melihat kalimat-kalimat yang saling mendukung didalam premis

E. Macam-macam munasabah

Munasabah terbagi kepada beberapa macam, yaitu munasabah antara surat dengan surat, munasabah antara surat dengan kandungannya, munasabah antara kalimat dengan kalimat, munasabah antara ayat-ayat dalam satu surat, munasabah antara penutup ayat dengan isi ayat, munasabah antara awal uraian dengan akhir uraian surat, dan munasabah antara akhir surat dengan awal surat berikutnya.

1. Munasabah antara surat dengan surat

Surat-surat yang ada di dalam Al Qur’an mempunya munasabah, sebab, surat yang dating kemudian menjelaskan sebagai hal yang jelas disebutkan secara global pada surat sebelumnya (al-Suyuthi). Sebagai contoh, surat al Baqarah menberikan perincian dan menjelaskan bagi surat al Fatihah. Surat Ali Imran yang merupakan surat berikutnya member penjelasan lebih lanjut bagi kandungan surat al-Baqarah. Selain itu munasabah dapat membentuk tema sentral dari berbagai surat misalnya ikrar ketuhanan, kaidah-kaidah agama dan dasar-dasar agama merupakan tema-tema sentral dari surat al Fatihah, al Baqarah, dan ali Imran. Ketiga surat ini saling mendukung tema sentral tersebut.

2. Munasabah Antara nama Surat dengankandunganya

Nama-nama surat yang ada di dalam Al-Qur’an memiliki kaitan dengan pembahasan yang ada pada isi surat. Surat al Fatihah disebut juga Umm al kitab karena memuat berbagai tujuan Al Qur’an.


3. Munasabah antara kalimat dengan kalimat dalam satu surat

Munasabah antara kalimar dalam Al Qur’an ada kalanya memakai huruf athaf (kata hubungan) dan ada kalanya tidak. Munasabah yang memakai huruf athaf (kata hubung) biasanya mengabil teknik tadhad (berlawanan). Misalnya pada ayat :

“Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya” (QS. Al-Hadid (57):4)

dan ayat:

“Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki)” (QS. Al-Baqarah (2): 245)

Kata (masuk dengan keluar ) dan (menyempitkan dengan melapangkan) dinilai sebagai ‘aqalah (hubungan) berupa perlawanan. Sementara itu munasabah yang tidak memakai huruf ‘athaf (penghubung), sandarannya adalah qarinah manawiyyah (indikasi maknawi). Aspek ini bisa muncul dalam beberapa bentuk sebagai berikut:

a. At-Tanzhir (membangingkan dua hal yang sebanding menurut kebiasaan orang yang berakal). Misalnya:

“Sebagaimana Tuhamu menyuruh pergi dari rumahmu dengan kebenaran” (QS. Al-Anfal(8):5)


Ayat sebelumnya adalah:

“Mereka itulah orang-orang mukmin dengan sebenarnya” (QS Al-Anfal (8) : 4)

Disini ada dua keadaan yang sebanding. Sebagaimana mereka sungguh-sungguh benti atas keluarganya Nabi memenuhi perintah Allah, demikian pula meteka sungguh-sunggu tidak menentang Rasul lagi setelah benar-benar beriman.

b. Al-Mudhaddah (berlawanan). Misalnya

“Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja engkau beri ingat mereka atau tidak engkau beri ingat mereka tidak adakan beriman” (QS Al-Baqarah (2) :6)

Munasabahnya adalah bahwa ayat ini menerangkan watak orang kafir, sedangkan ayat sebelumnya menerangkan watak orang mukmin.

c. Al-Istihrad (peralihan kepada penjelasan lain). Misalnya

“Hai anak Adam, sesungguhanya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa adalah yang paling baik. Demikian itu merupakan sebagian dari tanda-tanda Allah mudah-mudahan kamu selalu ingat” (QS Al-A’raf (7):26)

Ayat ini menjelaskan nikmat Allah, sedang ditengahnya dijumpai sebutan pakaian takwa yang mengalihkan perhatian untuk menoleh kepada banyaknya unsur takwa dalah berpakaian.

d. Al Takhallusb (peralihan). Peralihan disini adalah peralihan yang terus-menerus dan tidak kembali kepada pembicaraan pertama. Misal dalam surat Al-A’araf mulai dari ayat 59 sampai 157. Ayat-ayat ini mulai mengisahkan umat-umat dan nabi-nabi terdahulu secara bertahap beralih terus sampai kepada kisah Nabi Musa As dan berakhir pada orang-orang pengikut Nabi yang Ummi, Muhammad SAW.

4. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surat

Munasabah dalam bentuk ini secara jelas dapat dilihat dalam surat-surat pendek. Misalnya: Al-Ikhlas, masing-masing ayat pada surat itu menguatkan tema pokoknya tentang keesaan Tuhan.

5. Munasabah antara penutup ayat dengan isi ayat

Munasabah disini bisa bertujuan:

a. Tamkim (peneguhan). Misalnya

“Dan Allah menghalau orang-orang kafir yang keadaan mereka penuh kejengkelan, meraka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan. Dan Allah adalah Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS Al-Ahzab (33):25)

Sekiranya ayat ini terhenti pada “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan”, niscaya maknanya bisa dipahami orang-orang lemah sejalan dengan pendapat orang-orang kafir yang mengira bahwa mereka mundur dari perang karena angin yang kebetulan bertiup. Padahal, bertiupnya angin bukan suatu kebetulan, tetapi atas rencana Allah mengalahkan musuh-musuh-Nya dan musuh kamu Muslim. Karena itu, ayat-ayat ini ditutup dengan mengingatkan kekuatan dan kegagahan Allah SWT menolong kaum Muslim

b. Tashdir (pengembalian). Misalnya

“Dan mereka memikul dosa-dosa mereka di atas punggung mereka. Ingatlah amat buruk apa yang mereka pikul itu” (QS Al-An’am (6):31)

Ayat ini ditutup dengan kata " " untuk membuatnya sejenis kata dalam ayat tersebut

c. Tausyib (penyelepangan) Misalnya

“Satu tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka adalah malam Kami tanggalkan siang dan malam itu, maka tiba-tiba mreka berada dalam kegelapan” (QS Yasin (36):37)

Dalam permulaan ayat ini terkandung penutupnya. Sebab kandungan awal ayat telah menunjukan akhirnya sehingga awal ayat seolah-olah memakai selempangan pertanda bagi akhirnya.

d. Idhal (penjelasan tambahan dan penajaman makna). Misalnya

y7¨RÎ) Ÿw ßìÏJó¡è@ 4tAöqyJø9$# Ÿwur ßìÏJó¡è@ §MÁ9$# uä!%tæ$!$# #sŒÎ) (#öq©9ur tûïÌÎ/ôãB

“Sesunggunya, kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati mengdengar dan tidak pula orang-orang tuli mendengar panggilan, apabila telah berpaling membelakang” (QS Al-Naml (27):80)

Kandungan ayat ini sebenarnya sudah jelas sampai kata al-du’a (panggilan). Akan tetapi untuk lebih mempertajam dan mempertandas makna ayat diberi sambungan lagi sebagai penjelasan tambahan.

6. Munasabah antara awal surat dengan akhir surat

Munasabah ini dapat dilihat misalnya pada surat Al-Qashash. Permulaan surat menjelaskan perjuangan Nabi Musa, diakhir surat memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan dari kaumnya, dan akan mengembalikannya ke Mekkah. Di awal surat ,larangan menolong orang yang berbuat dosa dan di akhir surat larangan menolong orang kafir. Munasabah disini terletak pada kesamaan situasi yang dihadapi dan sama-sama mendapatkan jaminan dari Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar